Sabtu, 08 April 2017

Sabtu, 04 Februari 2017

4/2/2017

Lama setelah kau pergi, aku masih memandangi cangkir kopimu;
dingin dan setengah kosong.
Garis – garis hitam ditepinya mengabadikan lekuk bibirmu.
Ku bayangkan bibir itu merekahkan senyum yang ku suka.
Ku bayangkan ia menyimpan tawa dan suaramu lebih baik dari ingatanku.
Di telingaku ia menyanyikan puisi – puisi tentang kita.
Di sudut mataku ia mengecupkan perpisahan.
“Tunggulah,” katanya, “maka waktu akan mempertemukan kita.”
Tapi kau tak pernah kembali.
Rinduku tak juga menepi.
Lama setelah kau pergi, kursimu kosong tak terisi.
Tapi suaramu terdengar dimana – mana.
Di antara riuh kota, di antara gemerisik dedaunan,
Di antara lagu – lagu lama di radio.
Lama setelah kau pergi, aku masih mengerjai hati sendiri.

Selasa, 05 Juli 2016

#1 Mulai dari Kau (Trilogi Puisi Paling Kau)

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga.
Waktu itu aku sedang belajar membilang namamu.
Belajar menantang tatapan sengak yang dengan acuhnya kau berikan pada seisi dunia.
Belajar memahami bahasamu yang asing dan tak berima.
Harusnya dulu ku biarkan saja kau kacau, liar, tegar, dan tak tersentuh.
Biarkan saja humor pahitmu itu mencacah-cacah pembicaraan kita!
Lebih mudah mengabaikanmu daripada jadi tolol karena percaya kau punya sisi yang lebih ramah untuk dinikmati.
Aku mengutukimu dan bertaruh dengan diriku sendiri :
Aku akan membelah dan menemukan intimu, merapalkan kelembutan dan tawa paling merdu di telinganya, dan memaksamu percaya kau tak perlu jadi sangat menyebalkan untuk terlihat kuat.
Kau tidak perlu terlihat kuat agar dicintai.

Kesalahan kumulai dari
kau.


#2 Hujan (Trilogi Puisi Paling Kau)

Malam di bulan September,
di antara langit bintang – bintang meleleh jadi hujan
Tiga ratus enam puluh lima kali tiga, bagaimana mungkin ia tidak menenggelamkan kita.
Adakah kau kecap kopimu lebih asin?
Di ujung lidahku, semua rasa mati.

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga ku teriakkan perpisahan.
Aku tak ingin bertahan. Pun diperjuangkan.
Tapi kau mengiris telingamu sendiri.
Katamu Thomas Alfa Edison perlu ribuan kali kegagalan sebelum menemukan lampu
Mungkin setelah hujan kali ini kita menemukan bahagia.

Suatu pagi kau bertemu anak kucing di tengah jalan ke rumahku.
Ia kuyup oleh embun dan mengiba menuntut makan.
Ia berjalan mengekor di belakangmu, tak mau pergi bahkan setelah kau suapi roti.
Kau terpaksa berlari sekencang – kencangnya.

Hujan menderas. Ku bayangkan kau seperti itu.

Di radio Kelly Clarkson menyanyikan Already Gone untuk kita.

Hujan di luar.
Hujan di matamu.
Kosong
di intiku.

"Looking at you makes it harder
But I know that you'll find another
That doesn't always make you wanna cry
Started with a perfect kiss
Then we could feel the poison set in
Perfect couldn't keep this love alive

You know that I love you so
I love you enough to let you go
 ...
You can't make it feel right
When you know that it's wrong."

--- Already Gone


#3 Puisi Paling Kau (Trilogi)

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga.
Suatu ketika kau bertanya untuk siapa puisi yang ku tulis di selembar tisu koyak yang kau temukan di keranjang sampah.
Tulisannya mengabur. Meluruh mengikuti bercak-bercak air.
Kau bertanya apa aku menangis.
Kapan kau akan menulis puisi yang paling aku? Puisimu tak harus melulu tentang dia.
Aku membenci puisi-puisi. Mereka seperti anak kecil polos, tidak tahu kapan berhenti bicara.
Mereka menceritakan kisah-kisah yang tak mampu ku katakan langsung kepadamu:
Mereka membisikkan namanya, juga Rindu.

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga.
Kau namai ini cinta. Tanganmu patah tapi tak hendak melepaskan.
Ku namai ini cinta. Aku merindui kebebasan tapi tak ingin mendorongmu jatuh.
Puisi menamai ini Luka,
menghidupinya berarti mempertahankan kita.

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga. Aku menghitung mundur hari-hari.
Kita telah sampai pada akhir. Di jalanmu tidak akan ada aku lagi.
Ku mohon bersabarlah dengan waktu. Ia mungkin berjalan lambat disekitarmu.
Penyair favoritku pernah berkata ia tidak akan menyembuhkan luka; ia hanya menghadiahi kau Kesempatan-Kesempatan untuk menerima.
Sementara aku akan mengambil jalan yang lain, kekasih, mengikuti puisi.

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga.
Inilah puisiku yang paling kau.

Senin, 04 Juli 2016

Kenangan Membisikkan Luka dan Kesedihan

Malam ini mari kita seduh 2 cangkir kopi. Satu untuk Hati,
dan seseorang yang ku namai Logika
Lalu mari biarkan mereka membuat kegaduhan sampai larut :
Mereka berkejaran di jalan - jalan kota. Meneriakkan kata - kata yang tidak dipahami orang lain.
Berdebat tentang siapa yang paling benar? Siapa yang paling bodoh?
sampai salah satu dari mereka kehabisan suara.

Sepi yang paling galau menyanyikan lagu nina bobo!

***

Malam ini mari kita seduh 2 cangkir kopi untuk kita sendiri : Logika dan Hati sudah jatuh tertidur.
Setelahnya mari berbincang tentang kemungkinan - kemungkinan :
Segala yang kita lewatkan dalam pencarian
Segala yang kita lepaskan dalam ketidakpastian
Segala yang kita miliki dalam genggaman
Segala yang mungkin kita temukan dalam penantian

Malam ini mari kita seduh 2 cangkir kopi, lagi.
Mari mengundang kenangan dan biarkan ia menghadiahi kita tamparan keras!

Kau tahu? Ada kalanya hati dan logika tidak memberi tahu kita apa - apa.
Tetapi kenangan selalu membisikkan luka dan kesedihan dari kemungkinan - kemungkinan yang kita cumbui dulu

Apakah kita akan menciptakan luka yang sama ?



Senin, 30 November 2015

Di kotamu

Malam dan hujan berpapasan di kotamu
Menunggui rindu yang tak lagi datang
ke kotamu
  
mungkin waktu akhirnya memaksa kita menerima 
asa yang tak jadi nyata di kotamu