Lama setelah kau pergi, aku
masih memandangi cangkir kopimu;
dingin dan setengah kosong.
Garis – garis hitam ditepinya
mengabadikan lekuk bibirmu.
Ku bayangkan bibir itu merekahkan
senyum yang ku suka.
Ku bayangkan ia menyimpan tawa
dan suaramu lebih baik dari ingatanku.
Di telingaku ia menyanyikan
puisi – puisi tentang kita.
Di sudut mataku ia
mengecupkan perpisahan.
“Tunggulah,” katanya, “maka waktu
akan mempertemukan kita.”
Tapi kau tak pernah kembali.
Rinduku tak juga menepi.
Lama setelah kau pergi, kursimu
kosong tak terisi.
Tapi suaramu terdengar
dimana – mana.
Di antara riuh kota, di antara
gemerisik dedaunan,
Di antara lagu – lagu lama
di radio.
Lama setelah kau pergi, aku masih mengerjai hati sendiri.