Selasa, 05 Juli 2016

#3 Puisi Paling Kau (Trilogi)

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga.
Suatu ketika kau bertanya untuk siapa puisi yang ku tulis di selembar tisu koyak yang kau temukan di keranjang sampah.
Tulisannya mengabur. Meluruh mengikuti bercak-bercak air.
Kau bertanya apa aku menangis.
Kapan kau akan menulis puisi yang paling aku? Puisimu tak harus melulu tentang dia.
Aku membenci puisi-puisi. Mereka seperti anak kecil polos, tidak tahu kapan berhenti bicara.
Mereka menceritakan kisah-kisah yang tak mampu ku katakan langsung kepadamu:
Mereka membisikkan namanya, juga Rindu.

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga.
Kau namai ini cinta. Tanganmu patah tapi tak hendak melepaskan.
Ku namai ini cinta. Aku merindui kebebasan tapi tak ingin mendorongmu jatuh.
Puisi menamai ini Luka,
menghidupinya berarti mempertahankan kita.

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga. Aku menghitung mundur hari-hari.
Kita telah sampai pada akhir. Di jalanmu tidak akan ada aku lagi.
Ku mohon bersabarlah dengan waktu. Ia mungkin berjalan lambat disekitarmu.
Penyair favoritku pernah berkata ia tidak akan menyembuhkan luka; ia hanya menghadiahi kau Kesempatan-Kesempatan untuk menerima.
Sementara aku akan mengambil jalan yang lain, kekasih, mengikuti puisi.

Tiga ratus enam puluh lima kali tiga.
Inilah puisiku yang paling kau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar